P2P Lending vs Reksadana Saham, Mana yang Lebih Menguntungkan?

Kali ini saya ingin membahas tentang P2P Lending vs Reksadana Saham.  Saya yakin diantara kalian pasti ada yang merasa bingung ketika disuruh memilih antara kedua jenis instrumen investasi tersebut.

Apakah lebih baik saya memilih berinvestasi di reksadana saham karena regulasinya yang sudah matang dan imbal hasilnya yang relatif tinggi? Ataukah justru lebih baik saya berinvestasi di fintech P2P Lending saja yang akhir-akhir ini lagi naik daun dan katanya memiliki ROI (imbal hasil) yang lebih tinggi dari reksadana.

Which one is better? well, mari kita coba telaah masing-masing kelebihan dan kekurangan kedua instrumen investasi tersebut.

Berinvestasi di Reksadana Saham

Pertama, kita mulai dulu dari reksadana saham. Buat kalian yang belum tahu, reksadana saham ini adalah jenis reksadana yang paling menguntungkan dan berisiko di antara jenis-jenis reksadana yang lain. Hal ini dikarenakan reksadana saham menaruh minimal 80% dana kelolaan mereka untuk berinvestasi di instrumen saham which is sangat berisiko karena tingkat volatile alias naik turun harganya yang tinggi bergantung pada situasi market (pasar). Bahkan ada beberapa produk reksadana saham yang menaruh sampai 99% dari dana kelolaan untuk saham. Ini salah satunya:

Screenshoot komposisi alokasi aset Reksadana Simas Saham Unggulan | P2P lending vs reksadana saham
Screenshoot komposisi alokasi aset Reksadana Simas Saham Unggulan diambil dari aplikasi Bibit
| Sumber: Dok. Ptibadi

Info: Buat kalian yang baru pertama kali mengenal reksadana, sebaiknya kalian baca dulu empat artikel saya berikut ini:

Kelebihan reksadana saham:

1. Memberikan imbal hasil yang tinggi; rata-rata 15-16% per tahun. Bahkan di tahun 2018 saja, produk reksadana Simas Syariah Unggulan berhasil membukukan kenaikan sebesar 35,67%. Alias lebih dari dua kali lipatnya.

Tingkat imbal hasil Simas Syariah Unggulan | P2P lending vs reksadana saham
Sumber: Bareksa

2. Dana yang kita investasikan itu dikelola oleh Manajer Investasi profesional, sehingga kita tidak perlu repot lagi menganalisis instrumen saham/obligasi mana yang sebaiknya dipilih untuk diinvestasikan. Jadi, kita bisa lebih hemat tenaga dan waktu.

3. Likuiditas tinggi. Artinya, kita bisa menjual investasi reksadana kita kapan saja dengan menggunakan harga NAB (Nilai Aktiva Bersih) yang berlaku pada saat itu.

4. Aman. Sebab dana yang kita investasikan itu seluruhnya disimpan di pihak ketiga, yaitu bank kustodian. Sehingga kita pun tidak perlu khawatir dana kita akan disalahgunakan oleh perusahaan Manajer Investasi yang tidak bertanggungjawab. Selain itu, produk reksadana juga diawasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

5. Tidak membutuhkan banyak modal. Rata-rata produk reksadana sekarang bisa dibeli dengan harga Rp. 100 ribu saja. Bahkan ada yang cuman Rp. 10.000.

6. Mendapatkan potensi imbal hasil dan diversifikasi  yang lebih optimal. Karena uang kita dikumpulkan terlebih dahulu bersama dengan uang-uang dari investor lain, baru kemudian disebar ke berbagai instrumen investasi. Sehingga kalau dapat untung, bisa lebih banyak. Dan kalau rugi, risikonya bisa lebih minimal. Kok bisa? ya coba kamu mikir dulu deh. Nanti kalau misal jawabannya gak dapet2, baru kamu bisa tanya saya lewat kolom komentar di bawah artikel ini.

7. Mudah diakses, karena untuk berinvestasi di reksadana, sekarang tidak perlu lagi harus ke bank atau sekuritas, melainkan cukup lewat online saja. Contohnya seperti di Ajaib, Bibit, atau Indopremier (Ipotfund).

8. Umumnya tidak dikenakan biaya untuk membeli reksadana saham.

Tertarik berinvestasi reksadana? gunakan kode referral saya untuk mendapatkan bonus:

  • Kode referral Ajaib -> zai.981
  • Kode referral Bibit -> zaipad50

Kekurangan reksadana saham:

1. Nilai investasi bisa saja berkurang, akibat pengaruh dari turunnya harga saham yang masuk dalam portofolio produk reksadana yang kita beli.

2. Tidak cocok untuk investasi jangka pendek karena nilainya yang sangat berfluktuasi.

3. Risiko likuiditas. Artinya, bisa saja perintah pencairan dana yang kita keluarkan lambat dieksekusi oleh pihak Manajer Investasi (MI). Hal ini bisa terjadi akibat pengaruh dari kesalahan administrasi penjualan atau karena terlalu banyaknya investor yang menarik dana secara bersamaan, sehingga menyebabkan pihak MI kesulitan dalam menyediakan uang tunai untuk investor.

4. Risiko Default atau Wanprestasi, dimana saham dan obligasi yang menjadi portofolio reksadana mengalami bangkrut, sehingga menyebabkan penurunan NAB (Nilai Aktiva Bersih) reksadana.

5. Pada beberapa produk reksadana saham dikenakan biaya jual apabila investor menjual reksadananya sebelum mencapai kurun waktu tertentu. Misal kurang dari satu tahun sejak dilakukannya pembelian.

Berinvestasi di P2P Lending

Untuk jenis instrumen investasi yang satu ini, memang masih lumayan baru di Indonesia. Akan tetapi, jika dilihat dari segi jumlah investor dan total akumulasi pinjaman yang tersalurkan, P2P lending justru mampu menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan.

Buktinya, dalam waktu 4 bulan terakhir saja (Des 2018 – Maret 2019), jumlah investor yang menggunakan platform P2P lending tercatat telah bertambah menjadi 272.548 orang atau mengalami peningkatan sekitar 31,34%. Sementara dari segi jumlah akumulasi penyaluran pinjaman hingga Maret 2019 telah mencapai Rp. 33,2 triliun, atau mengalami peningkatan sekitar 46,48%.

Well, I hafta admit it is quite fast.

Sumber data: OJK (Statistik Fintech Lending Periode Maret 2019)

Lantas apa itu P2P Lending?

Well, secara garis besar, P2P (peer to peer) lending merupakan sebuah wadah (platform) yang bisa digunakan untuk memberi pinjaman atau mengajukan pinjaman. Contoh, jika kamu membutuhkan dana untuk modal usaha, maka kamu bisa mengajukan pinjaman lewat platform ini.

Sedangkan buat kamu yang punya dana berlebih serta tidak ingin uang tersebut menganggur begitu saja,  kamu pun bisa menggunakan platform P2P lending ini untuk memaksimalkan dana kamu lewat perolehan bunga pinjaman atau imbal hasil secara syariah. Nah, karena bisa menghasilkan keuntungan, maka P2P lending juga dapat disebut sebagai instrumen investasi.

Di Indonesia, sejauh ini sudah banyak platform P2P lending yang beroperasi. Namun sayangnya, sebagian besar masih belum terdaftar, apalagi mendapatkan izin dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Maka itu, dalam berinvestasi P2P lending kamu diharapkan untuk senantiasa berhati-hati agar tidak masuk ke dalam jebakan batman.

Saya sendiri baru menggunakan platform Ammana dalam berinvestasi di P2P lending. Saya memilih Ammana karena dua pertimbangan, yaitu pertama karena platform ini menggunakan prinsip syariah dalam menjalankan bisnisnya. Kemudian yang kedua, untuk berinvestasi di Ammana, saya tidak membutuhkan modal yang besar. Cukup dengan Rp50.000 saja saya sudah bisa ikut memberikan pinjaman pada calon debitur yang saya pilih.

Selain itu, Ammana juga memiliki sistem crowdfunding,  sehingga membuat risiko investasi menjadi lebih tersebar. Hal ini tentu berbeda dengan beberapa platform P2P lain yang mensyaratkan minimal setoran dana Rp. 1 juta rupiah bahkan lebih dari itu. Ditambah juga kita harus menanggung risikonya sendiri-sendiri.

Kelebihan P2P Lending:

1. Beberapa P2P Lending mampu menawarkan imbal hasil yang sangat menarik kepada pemberi pinjaman, yakni hingga mencapai 20% per tahun. Contohnya bisa kamu lihat pada tabel di bawah ini:

Nama Perusahaan P2P Lending Imbal Hasil
PT Mitrausaha Indonesia Group (Modalku) 20%
PT Amartha Mikro Fintek 10% – 20%
PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas) 18%
PT Lunaria Annua Teknologi (Koinworks) 18%
PT Investree Radhika Jaya 17,40%
PT Sampoerna Wirausaha (Mekar) 10%

Sumber: Riset Kontan

Memang, jika dibandingkan dengan beberapa produk reksadana saham, mungkin tingkat imbal hasil dari P2P lending ini masih kalah. Tetapi bila dilihat secara keseluruhan, tentu return yang diberikan oleh P2P lending termasuk sangat menarik.

2. Pada beberapa perusahaan P2P lending , hanya dibutuhkan modal yang kecil untuk mulai berinvestasi (memberikan pinjaman). Misalnya pada platform P2P lending syariah, Ammana dimana rata-rata kamu cukup menyediakan Rp. 50.000 saja  untuk mulai memberikan pinjaman. Kemudahan ini secara otomatis membuat platform P2P lending semakin bisa dijangkau oleh seluruh kalangan masyarakat. Alias, tidak hanya untuk mereka yang berduit.

Baca juga: P2P Lending Syariah – Pengertian, Cara Kerja, dan Pengalaman Berinvestasi

3. Keuntungan bisa diperoleh setiap minggu tergantung dari kebijakan masing-masing platform P2P. Kalau di Ammana sendiri, jadwal pembayaran pokok pinjaman + imbal hasil-nya dilakukan setiap satu bulan sekali. Sementara kalau di Amartha dan beberapa platform P2P lainnya yang saya kurang tahu apa saja itu, mereka menerapkan siklus pembayaran setiap satu minggu sekali.

Lantas, manakah yang lebih baik? well, of course semua tergantung pada penilaian kalian masing-masing. But if it is according to me, then jawabannya adalah yang siklus pembayarannya seminggu sekali.

Mengapa? ya karena peluang dan kecepatan untuk melakukan compound interest alias bunga berbunga menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan yang sistem pembayarannya cuman satu bulan sekali. Apalagi yang enam bulan sekali. Dih.  

4. Proses pendaftaran dan pemberian pinjaman relatif cepat, serta dapat dilakukan secara online.

5. Selain bisa memperoleh keuntungan, berinvestasi di P2P juga secara tidak langsung dapat  membantu para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia mendapatkan akses permodalan. Sehingga mereka bisa berkembang lebih cepat dan memajukan perekonomian tanah air.

Kekurangan P2P Lending:

1. Masih banyak perusahaan P2P lending di Indonesia yang belum terdaftar, apalagi mendapatkan izin dari OJK. Maka itu, sebaiknya kita harus tetap berhati-hati.

2. Tidak likuid. Artinya, dana yang kamu investasikan di P2P lending tidak bisa kamu cairkan kapan saja, seperti halnya pada investasi reksadana saham. Di P2P lending , kamu hanya bisa mencairkan dana investasi kamu setelah debitur melakukan pembayaran pokok pinjaman + imbal hasil –nya pada waktu tertentu (per 1 minggu/1 bulan) sesuai dengan kesepakatan.

3. Risiko tinggi. Jika debitur gagal bayar atau menunggak, maka kamu sebagai investorlah yang akan menanggung kerugian sepenuhnya. Kecuali jika kamu mengikuti program asuransi yang biasanya juga bekerjasama dengan pihak perusahaan P2P lending. Btw, salah satu perusahaan P2P yang sudah bekerjasama dengan pihak asuransi adalah Amartha.

4. Selain risiko gagal bayar, terdapat juga risiko platform P2P bangkrut akibat kesalahan manajemen dan lain-lain.

P2P Lending vs Reksadana Saham, Mana yang lebih baik?

Oke.

Jadi, sebelum menentukan mana yang lebih baik (baca: menurut penilaian saya pribadi), saya ingin membandingkan kedua jenis instrumen investasi ini terlebih dulu lewat empat hal berikut ini:

1. Tingkat Return

Pertama, dari segi tingkat return atau imbal hasil, saya jelas akan memilih reksadana saham ketimbang P2P lending. Hal ini karena reksadana saham memiliki potensi imbal hasil yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan P2P lending.

P2P lending boleh saja memberikan kamu imbal hasil yang mencapai angka 20% dalam setahun. Tetapi kamu harus tahu bahwa pada reksadana saham, bila kondisi market­-nya lagi baik yang didukung juga dengan cara pengelolaan Manajer Investasi (MI)-nya yang top markotop, maka bukan tidak mungkin berinvestasi di reksadana saham justru dapat memberikan kamu imbal hasil lebih dari itu; 2x lipatnya, bahkan lebih.

Again, It all depends on the market & of course the MI itself.  

top 5 reksadana saham 2017 - 2018 | p2p lending vs reksadana saham
Sumber: Bareksa

2. Compound Interest

Kedua, jika dilihat dari segi efektivitas compound interest , maka sudah tentu pilihan saya jatuh pada P2P lending. Di sejumlah platform P2P lending, kita bisa mendapatkan imbal hasil + uang pengembalian pokok pinjaman dalam kurun waktu yang relatif cepat, yakni satu minggu saja.

Sehingga, kita pun bisa menggunakan uang tersebut untuk berinvestasi kembali dan menghasilkan efek bunga berbunga (compound interest) yang lebih besar.

Sementara pada jenis investasi reksadana saham, keuntungan yang kita peroleh justru tidak bisa ditebak. Dalam kurun waktu satu minggu, nilai investasi kita bisa saja naik tinggi tetapi bisa juga turun sangat dalam.

Otomatis, kita pun menjadi sulit untuk meng-compound interest-kan dana investasi kita dengan cepat, demi mendapatkan efek bunga berbunga yang lebih besar di masa depan.

3. Likuiditas

Ketiga, dari sisi likuiditas, saya tentu memilih reksadana saham lah yang lebih baik. Alasannya ialah karena di reksadana saham, kita bisa mencairkan dana investasi kita kapan saja tanpa harus menunggu waktu atau jadwal tertentu.

Sementara pada P2P lending, dana investasi kita justru hanya bisa dicairkan setelah pihak debitur memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang pada waktu-waktu tertentu yang sudah disepakati.

4. Risiko

Terakhir, dari segi risiko, saya menilai keduanya memiliki risiko yang sama-sama tinggi. Di reksadana saham, ada risiko nilai investasi yang anjlok akibat harga portofolio saham yang turun secara drastis. Sedangkan di P2P lending  pun sama, ada risiko debitur yang menunggak atau bahkan gagal bayar.

Jadi, setelah melakukan empat perbandingan di atas, maka saya pun memutuskan untuk memilih reksadana saham sebagai jenis investasi yang lebih baik dibandingkan dengan P2P lending

Zai Alam

A lifelong learner, blogger and part-time investor. I love sharing about personal finance and cuan-related tips. Connect with me on Twitter. (Disclaimer: not a financial advisor)

Leave a Comment

Investasi reksadana dapat cashback Rp25.000, Mau?  Lihat Selengkapnya....